Sebagai seorang ayah, Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin berusaha mendidik puteri-puteri dengan penuh kasih sayang dan perasaan lemah lembut. Pola ini agak berbeda Pola Mendidik Putrinya dengan pola yang diterapkan oleh Tuan Guru Haji Abdul Madjid kepadanya, yang cenderung keras dan tegas. Sekalipun puteri-puterinya dianggap melakukan kesalahan, ia berusaha untuk menegurnya juga dengan lemah lembut.
Sebagai ilustrasi, ketika Siti Rauhun sekolah di Muallimat Tsanawiyah Nahdlatul Banat, ia pernah pergi bersama teman-temannya ke Labuhan Haji Lombok Timur. Jarak antara Labuhan Haji dengan Selong sekitar 5-7 kilometer. Karena jaraknya yang cukup jauh, maka ia dan teman-temannya menggunakan dokar. Mereka pergi ke Labuhan Haji hanya untuk melihat pohon "Ndes". Buah ini jarang ditemui di Pancor, sehingga mereka pun ingin melihat buah ini di daerah Labuhan Haji.
Saat Siti Rauhun menaiki dokar bersama-sama teman-temannya menuju Labuan Haji, ditengah perjalanan ada orang yang mengenalinya. Kemudian orang itu melaporkan kejadian tersebut kepada ayahnya. Keesokan harinya ia dipanggil ayahnya dan disuruh menghadap ke Pancor. Mendapat pesan itu, ia tidak mempunyai firasat apa-apa. Apalagi dengan firasat akan dimarahi oleh ayahnya.
Selanjutnya ia segera memenuhi panggilan ayahnya, ia diterima oleh ayahnya dengan baik. Dan oleh ayahnya, ia langsung diminta untuk mengurut kaki ayahnya. Saat ia sedang mengurut kaki ayahnya, tiba-tiba ayahnya bertanya dengan nada menyindir; "Rauhun, enak naik dokar, ya?" Mendengar sindiran tersebut, telinga Siti Rauhun seperti terasa disambar petir. Karena ia merasa bahwa ayahnya mengetahui kepergiannya ke Labuhan Haji. Belum sempat ia menjawab sindiran tersebut, ayahnya langsung melanjutkan ucapannya, "Saya khawatir, kalau terjadi sesuatu pada diri kamu di tengah jalan. Kalau-kalau kamu diculik orang, atau terjadi hal-hal lain yang tidak diinginkan".
Seluruh ucapan ayahnya itu, tidak satupun yang dijawabnya. la hanya terdiam sambil menundukkan kepala. Baginya, sebagai seorang anak yang patuh dan pemalu, petistiwa itu sangat terkesan di dalam hidupnya. Sindiran ayahnya itu bagaikan sebuah kemarahan, yang tidak boleh terulang lagi dalam perjalanan hidupnya. Dan memang sekali itulah ia merasa dimajrahi oleh ayahnya, karena berbuat sesuatu yang tidak pantas menurut pandangan ayahnya.
Selain itu, untuk melatih kedua putrinya, menjadi seorang anak yang berjiwa pemberani dan percaya diri, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin sering menampilkan kedua putrinya dihadapan orang banyak untuk latihan berpidato. Keduanya disuruh berdiri di atas meja atau di atas tumpukan pasir. Kemudian disuruhnya berbicara di hadapn tukang dan para pekerja atau jamaah yang bergotong royong mengangkul batu atau pasir untuk pembangunan madrasah yang didirikannya.
Pola didikan seperti itu, sangat dirasakan nilai positifnya oleh kedua putrinya, hingga sejakkecil sudah terbiasa berhadapan dan berbicara di muka umum. Dan hingga saat ini kedua putrinya merupakan pelanjut setia estafet perjuangan dan da'wah ayahnya, melalui organisasi Nahdlatul Wathan [NW] yang didirikan pada tahun 1943. Keduanya memang telah diwasiatkan untuk selalu selangkah dan seayun dan bersatu padu dalam melanjutkan perjuangan Nahdlatul Wathan yang telah tersebar dari berbagai penjuru nusantara ini.
Gambaran tentang harapan Tuan Guru kepada puterinya ini, dilukiskan dalam bait-bait syair yang khusus ditujukan untuk keduanya sebagai berikut:
Wahai Anakku Rauhun Raihanun
Tetapkan dirimu selangkah seayun
Membela NW turun temurun
"PERTANGGA NAIKBERJENJANG TURUN"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar