Tuan Guru Haji Abdul Madjid termasuk salah seorang yang kaya di desanya. Kondisi ini menyebabkan status sosial dan ekonomi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Setidaknya, ia mewarisi sebagian dari kekayaan yang ditinggalkan ayahnya.
Kondisi ekonomi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sejak awal menjadi rahasia umum, ia termasuk orang kaya di Pancor. Indikator kekayaannya dapat dilihat dari kepemilikan sawah ladang yang luas, kebun dan tanah pekarangan lainnya, serta sejumlah hewan ternak, disamping barang-barang perhiasan lainnya, seperti emas dan perak.
Walaupun ia termasuk golongan orang yang kaya, namun dalam kehidupan sehari-harinya bersama keluarga dijalani dengan pola kehidupan sederhana, tidak sombong, apalagi berpoya-poya, untuk tidak mengatakan memprihatinkan, terutama pada tahun-tahun yang sulit, yakni pada tahun 1940-an sampai dengan akhir tahun 1950-an.
Haji Husni Hamid, salah seorang anak angkatnya, menuturkan kondisi ini, ketika Hajah Fatmah [salah seotang istri Tuan guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid] yang biasa dipanggilnya mamik bini, sering menyuruhnya meminta uang kepada Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yang biasa dipanggilnya Mamiq laki, untuk keperluan sehari-hari, seperti membeli beras, lauk pauk, dan sebagainya. Namun demikian, seringkali permintaanya tidak terpenuhi, karena Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak mempunyai uang. Karena tidak memiliki uang, ia suruh kesawah untuk memetik sayur mayur.
Pola hidup sederhana yang dijalani oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama keluarganya ini disebabkan karena sebagian besar harta kekayaannya dialokasikan untuk kepentingan pembangunan gedung madrasah, pengadaan sarana danpra sarana madrasah, dan untuk pembiayaan operasional madrasah dalam bentuk syahriyyah [gaji] guru-guru setiap bulannya.
Singkatnya, sebagian besar kekayaan yang dimiliki sampai akhir hayatnya dialokasikan untuk pengembangan perjuangan Nadlatul Wathan, baik untuk pengembangan Sumber Daya Manusia [SDM], seperti pemberian beasiswa bagi kader-kader Nadlatul Wathan serta memberikan bantuan dan fasilitas untuk pembukaan cabang-cabang Nadhatul Wathan di berbagai daerah di Indonesia.
Kondisi ekonomi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sejak awal menjadi rahasia umum, ia termasuk orang kaya di Pancor. Indikator kekayaannya dapat dilihat dari kepemilikan sawah ladang yang luas, kebun dan tanah pekarangan lainnya, serta sejumlah hewan ternak, disamping barang-barang perhiasan lainnya, seperti emas dan perak.
Walaupun ia termasuk golongan orang yang kaya, namun dalam kehidupan sehari-harinya bersama keluarga dijalani dengan pola kehidupan sederhana, tidak sombong, apalagi berpoya-poya, untuk tidak mengatakan memprihatinkan, terutama pada tahun-tahun yang sulit, yakni pada tahun 1940-an sampai dengan akhir tahun 1950-an.
Haji Husni Hamid, salah seorang anak angkatnya, menuturkan kondisi ini, ketika Hajah Fatmah [salah seotang istri Tuan guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid] yang biasa dipanggilnya mamik bini, sering menyuruhnya meminta uang kepada Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yang biasa dipanggilnya Mamiq laki, untuk keperluan sehari-hari, seperti membeli beras, lauk pauk, dan sebagainya. Namun demikian, seringkali permintaanya tidak terpenuhi, karena Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak mempunyai uang. Karena tidak memiliki uang, ia suruh kesawah untuk memetik sayur mayur.
Pola hidup sederhana yang dijalani oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama keluarganya ini disebabkan karena sebagian besar harta kekayaannya dialokasikan untuk kepentingan pembangunan gedung madrasah, pengadaan sarana danpra sarana madrasah, dan untuk pembiayaan operasional madrasah dalam bentuk syahriyyah [gaji] guru-guru setiap bulannya.
Singkatnya, sebagian besar kekayaan yang dimiliki sampai akhir hayatnya dialokasikan untuk pengembangan perjuangan Nadlatul Wathan, baik untuk pengembangan Sumber Daya Manusia [SDM], seperti pemberian beasiswa bagi kader-kader Nadlatul Wathan serta memberikan bantuan dan fasilitas untuk pembukaan cabang-cabang Nadhatul Wathan di berbagai daerah di Indonesia.
Terus berkarya kawan... kunjungi blog saya jga ya, http://mellbaonews.blogspot.com/2013/10/nurul-jannah-nw-duta-ntb-program-bridge_23.html
BalasHapus