Nahdatul Wathan. or.id-Ketika
penulis membuka kembali koleksi Tabloid “Sinar Lima” edisi ke-8 masa
edar Maret 2012, banyak kesan dan harapan para tokoh Nasional kepada
organisasi Nahdlatul Wathan. Peran NW terhitung sejak lahirnya NWDI di
NTB memang tidak diragukan lagi. Mengingat usianya yang menginjak 78
tahun, lebih tua dari usia Republik ini, NW punya saham besar membawa
perubahan dan pembaharuan terutama di bagian tengah dan timur Indonesia.
Dalam edisi itu merilis seorang KH.
Dr. Saifuddin Amsir, MA ulama kharismatik Betawi berharap NW ke depan
tanggap dalam mengantisipasi maraknya alira-aliran yang menyimpang. “NW
perlu ambil bagian dalam dakwah meluruskan aliran atau faham-faham yang
melenceng dari ajaran Islam,” ungkap beliau. Pesan senada disampaikan
oleh Ketua Komisi fatwa MUI Pusat, KH. Dr. Mahruf Amin bahwa
pengembangan NW terutama ke wilayah Indonesia Timur yang minoritas
muslim harus gigih.
Di samping untuk mengislamkan masyarakat, sekaligus mendakwahi Muslim sendiri yang masih banyak awam. Muallim KH. Syafi’i Hazami rahimahullah, guru dari para Kiyai dan Habaib Jakarta menyebut Hamzanwadi sebagai allamah dan mengapresiasi kiprah NW di tanah air.
Memang diakui beliau, secara lahiriah tidak pernah
berjumpa, namun secara batiniah dan rohaniyah, beliau mengenal dekat
Hamzanwadi. Kesan dan komentar yang paling menarik adalah apa yang
ditulis oleh Dr. Abdul Muqsith Ghazali. Judul opini inipun diadopsi dari
tulisannya. Banyak masukan dan kritikan konstruktif darinya.
Ia menyebut NW kurang menarik minat para peneliti
untuk dibedah. Alasannya NW tidak digerakkan dari Ibu Kota, melainkan
dari Lombok. Ini yang membuat kiprah NW sepi dari hingar bingar
pemberitaan media Nasional. Dampaknya, banyak akademisi tidak mengenal
apa dan bagaimana NW itu. Namun, alhamdulillah hari ini kader NW dan
lainnya sudah mulai melirik riset tentang NW.
Dosen Pascasarjana UIN Jakarta ini
menambahkan, dalam NW tidak ada dinamisasi pemikiran Islam. Aktifitas
ijtihad dan gemuruh fatwa keislaman tidak tampak dalam NW. Itulah
mengapa para peneliti nasional dan mancanegara tidak tertarik mengkaji
NW. “Tidak ada dentuman pemikiran keislaman yang mendorong para peneliti
untuk riset” katanya.
Memang diakui untuk urusan ijtihad
dan fatwa, NW harus banyak belajar dari saudara tuanya yaitu
Muhammadiyah dan NU dengan aktifitas Majelis Tarjih dan Bahtsul
Masailnya.
Visi Besar di balik Nama NW
Dalam jurnal Komunik IAIN Mataram, Dr. Fahrurrozi menulis: “Al-Ismu Yadullu alâ al-Musammâ,
nama menunjukkan identitas dirinya, ungkapan tersebut layak untuk
memotret kiprah organisasi Nahdltul Wathan yang secara filosofis dari
penamaannya menunjukkan identitas dirinya sebagai organisasi yang
semakna dengan; pergerakean
kebangsaan, pembangunan tanah air, pembelaan terhadap nasionalisme,
pergumulan sosial, perkumpulan primordialisme, dan banyak arti lain yang
bisa diinterpretasikan untuk sebuah mana dari NAHDLATUL WATHAN.
Pendiri organisasi ini memiliki
semangat yang tinggi dan semangat nasionalisme yang kuat untuk terus
membangun negara dan bangsanya dengan tidak melabelkan nama Islam dalam
organisasi yang didirikannya.
Padahal Guru Besar beliau Maulana
Syaikh Muhammad Hasan al-Masyyath memberikan nama organisasi yang
diusulkan oleh muridnya ini dengan dua pilihan nama, Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan. Kecerdasan dan kebesaran jiwa bagi sosok TGKH.M.Zainuddin memutuskan nama organisasi yang dibangunnya menjadi Nahdlatul
Wathan sebagai representasi keimanan untuk bergerak dalam wilyah yang
sangat universal, bukan saja aspek Agama tapi lebih dari itu negara dan
semangat kebangsaan.”
Penulis menangkap visi besar dari
seorang Hamzanwadi dalam nama Nahdlatul Wathan. NW berarti kebangkitan
tanah air. Kader-kader NW di manapun dia berada dan apapun profesinya,
harus punya mimpi besar dan menitip saham untuk mewujudkan visi itu.
Beliau meniti kebangkitan bangsa
ini melalui wadah yang dipilihnya untuk dirinya dan murid-muridnya. Visi
untuk menyetir lokomotifperubahan dan kebangkitan melalui bidang Pendidikan, dakwah, dan sosial yang diinisiasinya.
Hamzanwadi memilih kalimat wathan
(tanah air/bangsa) bukan Islam, menyiratkan pesan bahwa berjuang untuk
kemajuan tanah air adalah tuntutan agama itu sendiri. Ummat Islam
nusantara, wabil khusus benihan atau abituren
NW, sebutan untuk kader NW, punya tanggung jawab moril terhadap masa
depan bangsa ini. Kewajiban yang tak mungkin mereka bisa lari darinya
atau antipati terhadapnya.
Dalam Pengantar yang Hamzanwadi
sampaikan dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, beliau menyebut
bahwa hari ini adalah “Abad Final, Abad Kebangkitan Ummat Islam
Sedunia”. Seperti itulah prediksi para ulama kontemporer lain, bahwa
Abad 14 Hijriah ini adalah abad kebangkitan ummat.
Indonesia sendiri adalah penyumbang
terbesar penganut Islam di dunia. Artinya, Muslim Indonesia menanggung
beban moril membangunkan ummat Islam dari tidurnya sebagai konsekuensi
mayoritas. Termasuk juga di dalamnya abituren NW. Sulit mengharap Muslim
dunia akan bangkit kalau Muslim Indonesia tidak bangkit. Inilah visi
besar seorang Hamzanwadi.
Oleh karena itu, para abituren NW
harus jeli menangkap visi besar di balik nama Nahdlatul Wathan. Terlebih
lagi tujuan gerakan NW adalah li I’lai Kalimatillah wali Izzil islam wal Muslimin (Untuk menjunjung tinggi kalimat Allah, demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin). Sebuah tujuan yang agung dan teramat mulia.
Tidak ada niat lain dalam semua
aktifitas NW, melainkan semata-mata demi Islam dan tidak ada yang
dijunjung tinggi selain kalimat Allah, bukan kepentingan kelompok
apalagi pribadi. Untuk itu kiprah NW harus menasional, bahkan mendunia
demi tujuan tersebut. Di sini Hamzanwadi menegaskan, NW itu hanya wasilah (alat perjuangan) bukan ghayah (tujuan utama).
Baik sekali bila kita mengapresiasi
masukan dari Abdul Muqhsit dalam Sinar Lima itu. Menurutnya NW ke depan
harus mengiktiarkan hal berikut. Pertama, NW harus go international, tanpa
menafikan keberadaan cabang NW di luar negeri, semua harus
ditingkatkan. Kader NW harus hadir dalam forum-forum internasional dan
menyuarakan Islam yang rahmatan lilalamin. NW harus berbicara isu
nasional dan global, bahkan menjadi problem solver.
Kedua, ulama dan akademisi NW harus
aktif memproduksi pemikiran bukan hanya mengkonsumsi pemikiran. Dengan
cara ini, NW akan turut memberikan pengaruh terhadap corak pemikiran
Islam nusantara, yang seolah redup pasca wafatnya pendiri.
Terbukti belum ada karya yang
diakui dari ulama dan akademisi NW selain karya sang pendiri. Ketiga, NW
harus lebih responsif dalam soal-soal keagamaan dan kebangsaan. NW bisa
saja tetap bermarkas di Lombok, tetapi alasan geografis bukan kendala
NW untuk berperan dalam pemecahan masalah nasional.
Akhirnya kami ucapkan “Selamat
HULTAH NWDI ke-78 di Anjani.” Semoga kiprah NW semakin mendunia seperti
harapan Hamzanwadi dan kita semua li I’lai Kalimatillah wali Izzil Islam wal Muslimin.
H. Ahmad Zainul Hadi, MA (Dosen IAIH NW Pancor)
(Sumber: Web Nahdlatulwathan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar