Subscribe:

Selasa, 01 Oktober 2013

Berharap Pada Nahdatul Wathan

Nahdatul Wathan. or.id-Ketika penulis membuka kembali koleksi Tabloid “Sinar Lima” edisi ke-8 masa edar Maret 2012, banyak kesan dan harapan para tokoh Nasional kepada organisasi Nahdlatul Wathan. Peran NW terhitung sejak lahirnya NWDI di NTB memang tidak diragukan lagi. Mengingat usianya yang menginjak 78 tahun, lebih tua dari usia Republik ini, NW punya saham besar membawa perubahan dan pembaharuan terutama di bagian tengah dan timur Indonesia.
Dalam edisi itu merilis seorang KH. Dr. Saifuddin Amsir, MA ulama kharismatik Betawi berharap NW ke depan tanggap dalam mengantisipasi maraknya alira-aliran yang menyimpang. “NW perlu ambil bagian dalam dakwah meluruskan aliran atau faham-faham yang melenceng dari ajaran Islam,” ungkap beliau. Pesan senada disampaikan oleh Ketua Komisi fatwa MUI Pusat, KH. Dr. Mahruf Amin bahwa pengembangan NW terutama ke wilayah Indonesia Timur yang minoritas muslim harus gigih.
Di samping untuk mengislamkan masyarakat, sekaligus mendakwahi Muslim sendiri yang masih banyak awam. Muallim KH. Syafi’i Hazami rahimahullah, guru dari para Kiyai dan Habaib Jakarta menyebut Hamzanwadi sebagai allamah dan mengapresiasi kiprah NW di tanah air.
Memang diakui beliau, secara lahiriah tidak pernah berjumpa, namun secara batiniah dan rohaniyah, beliau mengenal dekat Hamzanwadi. Kesan dan komentar yang paling menarik adalah apa yang ditulis oleh Dr. Abdul Muqsith Ghazali. Judul opini inipun diadopsi dari tulisannya. Banyak masukan dan kritikan konstruktif darinya.
Ia menyebut NW kurang menarik minat para peneliti untuk dibedah. Alasannya NW tidak digerakkan dari Ibu Kota, melainkan dari Lombok. Ini yang membuat kiprah NW sepi dari hingar bingar pemberitaan media Nasional. Dampaknya, banyak akademisi tidak mengenal apa dan bagaimana NW itu. Namun, alhamdulillah hari ini kader NW dan lainnya sudah mulai melirik riset tentang NW.
Dosen Pascasarjana UIN Jakarta ini menambahkan, dalam NW tidak ada dinamisasi pemikiran Islam. Aktifitas ijtihad dan gemuruh fatwa keislaman tidak tampak dalam NW. Itulah mengapa para peneliti nasional dan mancanegara tidak tertarik mengkaji NW. “Tidak ada dentuman pemikiran keislaman yang mendorong para peneliti untuk riset” katanya.
Memang diakui untuk urusan ijtihad dan fatwa, NW harus banyak belajar dari saudara tuanya yaitu Muhammadiyah dan NU dengan aktifitas Majelis Tarjih dan Bahtsul Masailnya.
Visi Besar di balik Nama NW
Dalam jurnal Komunik IAIN Mataram, Dr. Fahrurrozi menulis: “Al-Ismu Yadullu alâ al-Musammâ, nama menunjukkan identitas dirinya, ungkapan tersebut layak untuk memotret kiprah organisasi Nahdltul Wathan yang secara filosofis dari penamaannya menunjukkan identitas dirinya sebagai organisasi yang semakna dengan; pergerakean kebangsaan, pembangunan tanah air, pembelaan terhadap nasionalisme, pergumulan sosial, perkumpulan primordialisme, dan banyak arti lain yang bisa diinterpretasikan untuk sebuah mana dari NAHDLATUL WATHAN.
Pendiri organisasi ini memiliki semangat yang tinggi dan semangat nasionalisme yang kuat untuk terus membangun negara dan bangsanya dengan tidak melabelkan nama Islam dalam organisasi yang didirikannya.
Padahal Guru Besar beliau Maulana Syaikh Muhammad Hasan al-Masyyath memberikan nama organisasi yang diusulkan oleh muridnya ini dengan dua pilihan nama, Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan. Kecerdasan dan kebesaran jiwa bagi sosok TGKH.M.Zainuddin memutuskan nama organisasi yang dibangunnya menjadi Nahdlatul Wathan sebagai representasi keimanan untuk bergerak dalam wilyah yang sangat universal, bukan saja aspek Agama tapi lebih dari itu negara dan semangat kebangsaan.
Penulis menangkap visi besar dari seorang Hamzanwadi dalam nama Nahdlatul Wathan. NW berarti kebangkitan tanah air. Kader-kader NW di manapun dia berada dan apapun profesinya, harus punya mimpi besar dan menitip saham untuk mewujudkan visi itu.
Beliau meniti kebangkitan bangsa ini melalui wadah yang dipilihnya untuk dirinya dan murid-muridnya. Visi untuk menyetir lokomotifperubahan dan kebangkitan melalui bidang Pendidikan, dakwah, dan sosial yang diinisiasinya.
Hamzanwadi memilih kalimat wathan (tanah air/bangsa) bukan Islam, menyiratkan pesan bahwa berjuang untuk kemajuan tanah air adalah tuntutan agama itu sendiri. Ummat Islam nusantara, wabil khusus benihan atau abituren NW, sebutan untuk kader NW, punya tanggung jawab moril terhadap masa depan bangsa ini. Kewajiban yang tak mungkin mereka bisa lari darinya atau antipati terhadapnya.
Dalam Pengantar yang Hamzanwadi sampaikan dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, beliau menyebut bahwa hari ini adalah “Abad Final, Abad Kebangkitan Ummat Islam Sedunia”. Seperti itulah prediksi para ulama kontemporer lain, bahwa Abad 14 Hijriah ini adalah abad kebangkitan ummat.
Indonesia sendiri adalah penyumbang terbesar penganut Islam di dunia. Artinya, Muslim Indonesia menanggung beban moril membangunkan ummat Islam dari tidurnya sebagai konsekuensi mayoritas. Termasuk juga di dalamnya abituren NW. Sulit mengharap Muslim dunia akan bangkit kalau Muslim Indonesia tidak bangkit. Inilah visi besar seorang Hamzanwadi.
Oleh karena itu, para abituren NW harus jeli menangkap visi besar di balik nama Nahdlatul Wathan. Terlebih lagi tujuan gerakan NW adalah li I’lai Kalimatillah wali Izzil islam wal Muslimin (Untuk menjunjung tinggi kalimat Allah, demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin). Sebuah tujuan yang agung dan teramat mulia.
Tidak ada niat lain dalam semua aktifitas NW, melainkan semata-mata demi Islam dan tidak ada yang dijunjung tinggi selain kalimat Allah, bukan kepentingan kelompok apalagi pribadi. Untuk itu kiprah NW harus menasional, bahkan mendunia demi tujuan tersebut. Di sini Hamzanwadi menegaskan, NW itu hanya wasilah (alat perjuangan) bukan ghayah (tujuan utama).
Baik sekali bila kita mengapresiasi masukan dari Abdul Muqhsit dalam Sinar Lima itu. Menurutnya NW ke depan harus mengiktiarkan hal berikut. Pertama, NW harus go international, tanpa menafikan keberadaan cabang NW di luar negeri, semua harus ditingkatkan. Kader NW harus hadir dalam forum-forum internasional dan menyuarakan Islam yang rahmatan lilalamin. NW harus berbicara isu nasional dan global, bahkan menjadi problem solver.
Kedua, ulama dan akademisi NW harus aktif memproduksi pemikiran bukan hanya mengkonsumsi pemikiran. Dengan cara ini, NW akan turut memberikan pengaruh terhadap corak pemikiran Islam nusantara, yang seolah redup pasca wafatnya pendiri.
Terbukti belum ada karya yang diakui dari ulama dan akademisi NW selain karya sang pendiri. Ketiga, NW harus lebih responsif dalam soal-soal keagamaan dan kebangsaan. NW bisa saja tetap bermarkas di Lombok, tetapi alasan geografis bukan kendala NW untuk berperan dalam pemecahan masalah nasional.
Akhirnya kami ucapkan “Selamat HULTAH NWDI ke-78 di Anjani.” Semoga kiprah NW semakin mendunia seperti harapan Hamzanwadi dan kita semua  li I’lai Kalimatillah wali Izzil Islam wal Muslimin. 
H. Ahmad Zainul Hadi, MA (Dosen IAIH NW Pancor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar